RSS

Gulliver di Negeri Liliput

IV. Bagaimana Aku Mengalahkan Musuh Bangsa Liliput

Liliput adalah negeri yang indah. Kota-kota dan lahan-lahan pertaniannya sebesar mainan anak-anak dan para penduduknya seperti boneka mungil. Namun di balik keindahan itu, di sana-sini tetap ada bahaya yang sewaktu-waktu mengancam negeri, tak beda dengan negeri-negeri lain yang ada di muka bumi. Aku mengetahui hal ini dari teman-teman yang dekat denganku setelah aku dibebaskan. Mereka mengatakan kepadaku bahwa dua partai politik di negeri mereka saling membenci satu sama lain. 

Kedua partai politik itu adalah Partai Tumit Tinggi dan Partai Tumit Rendah. Saat ini yang berkuasa adalah Partai Tumit Rendah. Sang raja sendiri lebih menyukai Partai Tumit Rendah dan itu ditunjukkannya dengan cara mengenakan sepatu yang tumitnya lebih rendah dari sepatu siapa pun di negeri Liliput. Namun cara bersepatu raja itu justru membuat gelisah orang-orang Partai Tumit Rendah. Tradisi mereka menegaskan bahwa raja harus mengenakan sepatu tumit rendah di satu kakinya dan sepatu tumit tinggi di kaki yang lain. Mereka takut orang-orang dari Partai Tumit Tinggi akan marah karena raja mengenakan tumit sangat rendah di kedua sepatunya.

“Kalau Baginda Raja meninggal, mungkin mereka akan mengganti semua pejabat tinggi dengan orang-orang dari Tumit Tinggi,” kata salah seorang dari Partai Tumit Rendah cemas.

Selain bahaya perpecahan di dalam negeri, Liliput juga menghadapi ancaman dari negeri lain. Penyebabnya begini: tak jauh dari pulau Liliput ada pulau lain bernama Blefuscu. Ukuran dan kekuatan negeri ini hampir sama dengan negeri Liliput. Manusia-manusia kecil Liliput meyakini bahwa di dunia ini hanya ada negeri Liliput dan Blefuscu. 

Celakanya, kedua negeri tersebut saling bermusuhan dan sepanjang tiga tahun terakhir mereka terus berperang. Perang ini disebabkan oleh peristiwa yang terjadi bertahun-tahun lalu di masa pemerintahan kakek buyut raja Liliput yang sekarang. Pada waktu itu, semua orang di negeri Liliput selalu mengupas telur dengan memotongnya pada ujung yang lebih besar. Suatu pagi, kakek raja yang berkuasa saat ini (ketika itu masih bocah), teriris tangannya saat memotong telur dengan cara yang biasa dilakukan oleh orang-orang seluruh negeri, yakni memotong ujung telur di bagian yang lebih besar. Sang raja sangat mencintai anaknya dan menjadi sangat marah atas kejadian itu. Ia lalu mengubah hukum kerajaan.

“Tidak ada lagi yang memotong telur di ujung yang lebih besar,” katanya. “Mulai sekarang setiap orang harus memotong telur di ujung yang lebih kecil.”

Sejak itu siapa pun yang ketahuan mengupas telur dengan memotong ujung yang lebih besar segera dijatuhi hukuman. Peraturan baru ini membuat rakyat marah karena mereka tidak mau mengubah kebiasaan mereka. Sepanjang diberlakukannya peraturan baru ini, dimulai dari pemerintahan kakek buyut raja sampai pemerintahan raja yang sekarang, enam pemberontakan telah meletus di negeri Liliput. Sejarah mencatat, dalam pemberontakan-pemberontakan tersebut, seorang raja terbunuh dan seorang lagi dipaksa turun tahta.

Kerusuhan di dalam negeri ini kemudian memperburuk hubungan Liliput dengan Blefuscu. Para pemberontak, yang disebut “Telur Ujung Besar”, mendapatkan dukungan dari raja Blefuscu. Akhirnya meletuslah perang besar yang menyengsarakan dua negeri dan saat ini Liliput lebih lemah dibanding Blefuscu. Mereka selalu dihantui kekhawatiran akan datangnya armada kapal perang Blefuscu.

Dalam kesulitan ini, raja Liliput ingin membangun persekutuan denganku. Aku senang sekali pada tawarannya dan aku bersedia menjalankan tugasku untuk melindungi negeri Liliput dari serangan Blefuscu.

PULAU Blefuscu terletak di sebelah timur laut Liliput, dibatasi oleh perairan sedalam lima belas senti di bagian tengah. Dari balik perbukitan kecil di pulau Liliput, aku mengintai persiapan armada musuh di pelabuhan Blefuscu. Lima puluh kapal perang seperti kapal-kapal mainan dan kapal-kapal lain yang lebih kecil telah siap melakukan penyerangan. Di pihak kami hanya ada sedikit kapal untuk menahan gempuran mereka. Kupikir cara untuk menyelamatkan Liliput adalah dengan melakukan serangan kilat.

Maka di rumah aku menyiapkan tali dan lima puluh kait. Dengan peralatan seperti ini aku menyeberangi perairan dan berenang secepat mungkin ke Blefuscu. Sebelum mereka menyadari kedatanganku, aku sudah berada di tengah-tengah barisan kapal perang mereka. Seranganku membuat mereka betul-betul terkejut. 

Para prajurit sangat ketakutan melihat aku muncul dari bawah permukaan air. Mereka berloncatan dari kapal dan berenang secepatnya menuju daratan. Aku tidak mencoba menangkap mereka karena tak mau melukai satu orang pun. Sebaliknya aku sibuk memasang kait-kaitku di ujung setiap kapal dan menyatukan kapal-kapal itu pada tali yang kubawa.

Sebelum pekerjaanku selesai, mereka sadar dari keterkejutan dan keberanian mereka mulai pulih. Para prajurit merapat ke garis pantai dan menembakkan ribuan anak panah ke tangan dan mukaku. Benar bahwa anak panah mereka hanya sebesar jarum, namun banyak juga yang membuatku kesakitan, terutama jika panah itu beracun. Aku menghentikan pekerjaanku beberapa saat dan memasang kacamata untuk melindungi mataku dari serangan panah mereka. Setelah itu kulanjutkan lagi pekerjaanku. Tak ada luka serius yang kudapatkan.

Ketika semua kait sudah terpasang erat-erat, aku menarik lima puluh kapal perang mereka. Tapi kapal-kapal itu tak bergeser sedikit pun. Semuanya ditambatkan dengan jangkar. Aku kembali lagi ke kapal-kapal itu. Dengan pisau lipatku kupotong semua tali jangkar masing-masing kapal. Setelah itu dengan mudah kuseret lima puluh kapal perang itu melintasi lautan menuju ke pelabuhan Liliput.

Para prajurit Blefuscu hanya bisa memandangi kapal-kapal perang mereka dengan perasaan putus asa. Mereka berteriak-teriak dengan kemarahan yang tak ada gunanya dan aku terus berenang menuju pulau Liliput. Raja Liliput dan ribuan rakyatnya bersiaga di pelabuhan. Mulanya mereka melihat iring-iringan kapal perang musuh dengan perasaan cemas. Mereka tidak melihatku karena hanya kepalaku yang menyembul di permukaan laut. Dan ketika mereka makin cemas, aku muncul dari permukaan air. “Hidup Raja Besar Liliput!” teriakku.

Kedatanganku disambut dengan sorak sorai kemenangan. Sang raja menunjukkan rasa terima kasihnya dengan memberiku gelar “Nardac”, sebuah gelar kebangsawanan tertinggi di negeri Liliput. Namun, sebagaimana hukum mudah berubah di Liliput, raja juga mudah berubah pikiran. Ia menjadi serakah dan mudah dihasut oleh orang-orang yang membenciku.