RSS

Gulliver di Negeri Liliput

Karya Jonathan Swift, diceritakan ulang sebagai bacaan anak oleh A.S. Laksana

Pengantar:

Gulliver's Travels secara keseluruhan terdiri atas empat bagian. Bagian pertama menceritakan petualangan Gulliver yang terdampar di negeri Liliput. Bagian kedua Gulliver terdampar di negeri raksasa. Bagian ketiga Gulliver diserang bajak laut dan terdampar di pulau tandus dekat India. Ia diselamatkan oleh orang-orang dari pulau terbang, Laputa. Di kerajaan Laputa, semua orang mencurahkan minat dan perhatian pada musik, kesenian, dan matematika namun mereka tidak mampu menerapkan pengetahuan mereka untuk menjalani urusan sehari-hari. Bagian keempat Gulliver terdampar di negeri kuda dan hidup di antara para kuda yang peradabannya sudah sangat sempurna. Negeri kuda ini sering mendapat gangguan dari makhluk primitif yang wujudnya manusia, yang memiliki tingkah laku kasar dan kebiasaan-kebiasaan mengerikan.

Novel petualangan karya Jonathan Swift ini adalah parodi atas kisah-kisah yang disampaikan para petualang waktu itu, juga menyusupkan ledekan di sana-sini atas situasi politik di Kerajaan Inggris. Kali ini kita akan menikmati bagian pertama Perjalanan Gulliver. Ini awal petualangan di mana Gulliver terseret ke perairan tidak dikenal dekat Sumatera dan terdampar di pulau yang dihuni orang-orang sebesar jempol. Selamat membaca.



I. Orang-orang Sebesar Jempol

Namaku Lemuel Gulliver. Ayahku seorang tuan tanah di Inggris, namun tanahnya tidak terlalu besar dan uangnya tidak cukup untuk membiayai pendidikan kelima anaknya. Aku sangat tertarik melakukan perjalanan. Untuk mewujudkannya aku akan masuk ke sekolah dokter.

“Aku tidak mau kau jadi dokter,” kata ayahku.

“Tapi aku ingin, Ayah,” kataku. “Aku tak mau jadi yang lainnya.”

Ayahku tidak setuju karena pada waktu itu dokter dianggap tidak penting. Aku memilih pekerjaan ini karena di akhir pendidikan aku bisa berlayar keliling dunia, yaitu dengan cara menjadi dokter di kapal. Bahkan ketika sudah menikah dan berkeluarga, aku tetap tidak berminat menghabiskan waktu terlalu lama di darat. Banyak kisah yang bisa kusampaikan kepadamu sepanjang pelayaranku. Namun cerita paling aneh berawal pada suatu hari di bulan Mei 1699. Pada hari itu aku memulai pelayaran dan semua yang terjadi akan kuceritakan padamu.

Pelayaran kami berlangsung lancar selama beberapa bulan dan kami sudah mengarungi separuh dunia. Namun segalanya kemudian berubah. Badai besar terjadi di dekat pantai Sumatra. Kapal kami terombang-ambing dan terseret ke perairan yang tidak dikenal. Banyak awak kapal meninggal. Akhirnya angin yang kuat menghempaskan kapal ke batu karang. Kapal kami hancur. Hanya enam awak kapal yang bisa menyelamatkan diri dengan sekoci kecil. Aku salah satunya.

Kami bergiliran mendayung sejauh 3 mil dengan susah payah. Namun gelombang setinggi gunung akhirnya membalikkan sekoci kami. Aku berenang sekuatku dan akhirnya tiba di sebuah daratan yang sepertinya tak berpenghuni. Sia-sia kucari rumah untuk menumpang, akhirnya aku tertidur di padang rumput.

Aku bangun pagi hari. Dan tampaknya telah terjadi sesuatu yang aneh selama aku tertidur. Pagi itu aku tak bisa bangkit sama sekali. Tangan dan kakiku terikat dengan senar-senar yang dipancangkan ke tanah. Rambutku yang panjang dan tebal juga terikat dengan cara yang sama. Aku sama sekali tak bisa menolehkan kepala untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Kudengar dengung suara, namun tak kulihat apa pun kecuali langit yang kosong. Aku tahu ada orang-orang di sekitarku, tapi tak satu pun bisa kulihat.

Di tengah rasa takut dan heran itu tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang merambat naik ke kaki, dan kemudian bergerak menuju daguku. Seperti serangga besar. Dengan gusar kuarahkan pandangan ke bawah untuk melihat apa yang merambati tubuhku. Rupanya manusia kecil! Tingginya kurang dari lima belas senti. Ia berjalan tegap di dadaku dengan menyandang busur dan anak panah. Pemandangan ini sungguh sulit kupercaya. Setelah manusia kecil ini, yang lainnya menyusul. Kira-kira lebih dari empat puluh orang. Mereka berbaris di dadaku seolah-olah sedang berderap ke medan peperangan. Semuanya kecil-kecil.

Dalam ketakutanku melihat manusia-manusia ajaib ini aku menjerit begitu keras sehingga mereka semua lari lintang pukang. Banyak yang melompat dari tubuhku dan terguling-guling di tanah; namun segera yang lain datang lagi dan mendaki tubuhku. Salah satu yang paling berani mencoba mengawasi mukaku dari jarak yang cukup jauh.

 “Aih, ngow hena ni aro ayadreb,  neer hebka!” teriaknya sambil melambai-lambaikan tangan kepada kawan-kawannya. Mereka mendekat lagi.

Aku tidak paham bahasa mereka, dan ketakutanku makin meningkat. Dengan upaya sekuat tenaga akhirnya aku bisa melepaskan tangan kiriku dari ikatan. Lalu, dengan tangan yang sudah bebas, kulepaskan senar-senar yang mengikat rambutku. Kini kepalaku bisa kutolehkan.

Kucoba menangkap mereka dengan tangan kiriku, namun manusia-manusia kecil itu lari menjauh. Ratusan yang lain segera menyerangku dengan panah mereka. Seratus anak panah menancap di tanganku seperti batang-batang jarum. Beberapa menancap di mukaku sehingga aku menjerit kesakitan dan mati-matian membebaskan diri. Makin lama makin banyak panah yang menyerangku dan akhirnya kuputuskan lebih baik berbaring diam saja.

Segera setelah aku membujur diam para prajurit berhenti memanahku. Orang-orang mengerumuniku, makin lama makin banyak.

Ekend tupasem!” kata salah seorang.

Yo, Ekend tupasem!” sahut kawan-kawannya.

Kugerakkan kepalaku sedikit dan kulihat ratusan tukang bangunan mendirikan panggung setinggi kurang lebih empat puluh senti di samping telinga kananku. Keterampilan dan kecepatan kerja mereka sangat mengagumkan. Meskipun orang-orang itu hanya sebesar ibu jari, namun mereka sanggup melakukan semua pekerjaan yang dilakukan oleh manusia-manusia seukuran kita.

Ketika panggung selesai dibangun, seseorang yang berpakaian indah, tampaknya ia perwira penting, naik ke atas panggung diiringi tiga pelayannya. Dari tempat itu ia bisa bicara langsung kepadaku dan menyampaikan padaku pidato yang panjang. Aku tak paham satu kata pun, namun kudengar kata “Liliput” disebutkan beberapa kali. Aku menduga bahwa itu pasti nama negeri mereka. Kelak terbukti bahwa dugaanku benar.

Sikap perwira ini sangat bersahabat dan ketika ia selesai berpidato, rasa takutku mulai mereda. Perutku lapar sekali dan kutempelkan jari-jariku ke mulut untuk memberi isyarat bahwa aku butuh makan. Akhirnya si perwira bisa memahami isyaratku dan segera memberi perintah kepada pasukannya.

Kipacek ngadma!” serunya. “Ngow hena ni nuwelek.”

Segera mereka menyandarkan beberapa tangga ke tubuhku dan seratus manusia kecil merayap naik ke mulutku. Mereka membawa keranjang makanan. Daging dan sayuran yang mereka bawa sama seperti yang biasa kita kenal, namun ukurannya kecil-kecil. Sekali telan aku memasukkan dua atau tiga keranjang makanan mereka. Kemudian kusatukan beberapa potong roti dan tetap lebih lebih kecil dibanding sebutir gundu. Mereka menyediakan juga beberapa tong air yang hanya sebesar biji kacang. Sejumlah orang terheran-heran menyaksikan aku menghabiskan air bertong-tong. Mereka menari-nari di dadaku.

Sebenarnya mudah sekali bagiku untuk menangkap empat puluh orang sekaligus dan melemparkan mereka. Namun setelah menerima makanan dan minuman mereka, kini aku merasa bahwa aku adalah tamu mereka. Aku juga makin kagum pada keberanian mereka untuk mendekatiku. Seorang perwira lain naik ke dadaku dan menunjukkan kepadaku secarik kertas yang cuma sebesar kuku jari. Tampaknya berisi sesuatu yang penting.

Ngayla kaas situg urta Liliput,” perwira itu membaca kertas di tangannya. “Umila ikias ucek ni aro iyal lahada kuwedes aragan Liliput. Ngad rikat ka Mildendo....”

Kelak aku tahu Aku bahwa kertas tersebut adalah surat perintah dari Raja Liliput untuk membawaku ke ibukota kerajaan, yang disebut Mildendo. Namun karena waktu itu aku tidak paham isinya, aku merasa biasa-biasa saja. Tapi mataku jadi sangat mengantuk, rupanya mereka memasukkan obat tidur ke dalam tong air yang kuminum tadi. Mereka membebaskan aku dari senar-senar yang mengikatku dan mengobati luka-lukaku di bagian yang tertancap panah beracun mereka. Aku merasa lebih segar dan kemudian tertidur lagi. Dan keajaiban berikutnya sedang menungguku di depan sana, ketika nanti aku membuka mata.

2 comments:

M. Faizi said...

Kalimatnya pendek-pendek, berkisar 8 kata atau lebih sedikit, sangat cocok untuk bacaan anak. Bahasa percakapannya menggunakan bahasa 'walikan', ya, Mas? Ha, ha, ha.

cachinayant said...

Tinken Tan Stainless Steel - TITanium Art
The Tinken Tan stainless steel is a durable does titanium set off metal detectors and lightweight stainless steel. It is ion chrome vs titanium suitable for titanium sia any 룰렛 type of project. tungsten titanium

Post a Comment