RSS

Raja yang Bodoh

Diceritakan ulang oleh A.S. Laksana

DI INDIA pernah ada sebuah kerajaan yang diperintah oleh raja yang bodoh. Ia memerintah didampingi oleh patih yang licik. Kau tahu, alangkah celakanya negeri yang diperintah oleh sepasang pemimpin macam itu. Begitu bodohnya sang raja sampai-sampai ia menghukum mati dirinya sendiri. Begitulah cerita ini nantinya berakhir, tetapi kita akan mulai dari awal, mengikuti peristiwa demi peristiwa, dan melihat bagaimana sang raja memerintahkan pasukan penghukum untuk menggantung dirinya sendiri.

Raja ini tidak mengurus rakyatnya dengan baik. Ia hanya suka jalan-jalan di tepi sungai ketika hari sudah sore. Biasanya ia ditemani oleh patihnya. Para punggawa kerajaan tahu kelicikan si patih, tetapi raja sangat percaya kepadanya.

Suatu sore keduanya berjalan-jalan di sepanjang sungai tepi hutan.

“Negeriku ini indah sekali ya, Paman Patih,” kata raja. “Sungainya jernih, hutannya lebat, dan tidak ada orang kelaparan.”

“Semuanya berkat kebijaksanaan Paduka dalam memerintah,” puji patihnya.

“Juga karena aku memiliki patih hebat seperti engkau, Paman.”

“Ah, hamba sekadar mengabdi kepada Paduka.”

Tiba-tiba dari arah hutan terdengar suara anjing melolong. Raja heran sekali mendengar lolong anjing hutan itu. Belum pernah ia mendengar lolong seperti itu sebelumnya.

“Suara apa itu, Paman?” tanyanya.

“Maaf, Paduka…,” jawab si patih pelan sekali.

“Ada apa, Paman?”

“Saya tidak enak mengatakan yang sebenarnya….”

“Harus kaukatakan terus terang, Paman. Aku tidak boleh dibohongi. Aku ini kan seorang raja. Ya, kan?”

“Sebenarnya anjing-anjing hutan itu kedinginan, Paduka. Mereka melolong minta selimut.”

Raja mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba mukanya menjadi merah. Ia kelihatan menahan marah.

“Kenapa di negeri makmur ini ada makhluk kedinginan, Paman?”

“Itulah yang saya tidak enak menyampaikannya, Paduka,” kata patih. “Sebetulnya ini kesalahan punggawa yang mengurusi kesejahteraan warga. Ia hanya membagi-bagikan selimut untuk keluarganya sendiri.”

Kini raja benar-benar murka. “Orang itu harus dihukum mati, Paman!” katanya. “Ia bertindak curang di kerajaanku. Setelah itu, mintalah uang kepada bendahara kerajaan untuk membelikan selimut buat anjing-anjing itu. Oh, aku bijaksana sekali ya, Paman.”

“Tentu saja, Yang Mulia. Paduka benar-benar bijaksana,” kata patih.

Keesokan harinya, punggawa urusan kesejahteraan dihukum mati. Patih sendiri yang memimpin hukumannya. Setelah itu ia langsung menemui bendahara kerajaan dan meminta uang banyak sekali. Kau pasti bisa menduga, si licik itu tidak membeli selimut. Ia menyimpan uang tersebut untuk dirinya sendiri.

Sebulan kemudian, raja berjalan-jalan lagi bersama patihnya. Di tepi hutan ia mendengar lagi lolong anjing seperti sebelumnya.

“Kenapa mereka masih melolong, Paman?” tanya sang raja. “Apakah kau lupa membelikan mereka selimut?”

“Bukan begitu, Paduka,” jawab sang patih. “Mereka sekarang ini mengucapkan terima kasih. Mereka sedang memuji kemurahan hati Paduka.”

“Kupikir kau lupa membeli selimut, Paman.”

“Tidak akan berani hamba melalaikan perintah, Paduka.”

“Beruntung sekali aku memiliki patih sepertimu, Paman.”

Bulan berikutnya, mereka berjalan-jalan lagi ke tempat yang sama. Sore itu seekor babi hutan keluar dari rimbun semak-semak di tepi hutan dan berlari kencang menuju perkampungan. Raja heran sekali. Ia belum pernah melihat binatang seperti itu sebelumnya. 

“Lucu sekali,” katanya. “Binatang apa itu, Paman?”

Patih tidak segera menjawab pertanyaan rajanya. Matanya berkaca-kaca dan tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu. Di sela-sela tangisnya si patih menjelaskan bahwa ia sedih sekali melihat penampilan binatang tersebut. Ia mengatakan bahwa binatang itu adalah gajah yang menjadi kurus sekali karena pawang kerajaan tidak memberinya makan dengan baik. “Makanan gajah itu malahan dipakai untuk pesta tiap malam oleh si pawang, Yang Mulia,” katanya. “Itu sebabnya gajah tadi menjadi sangat kurus.”

Mendengar penjelasan itu, raja sangat marah. Ia segera mengajak patihnya pulang dan segera menjatuhkan hukuman mati kepada pawang binatang. Setelah hukuman dijalankan, raja memerintahkan patihnya untuk meminta uang kepada bendahara istana. “Beli makanan yang lezat untuk gajah itu, Paman. Aku tak tega melihat gajah itu kurus,” kata raja.

Patih kembali meminta banyak uang kepada bendahara. Sekali lagi uang itu dia simpan untuk dirinya sendiri. Beberapa waktu kemudian, ketika mereka kembali berjalan-jalan, babi hutan itu muncul lagi. Raja terkejut melihat gajahnya masih kurus.

“Apakah kau lupa memberinya makan, Paman?” tanya raja.

Kali ini patih terpingkal-pingkal.

“Itu bukan gajah, Yang Mulia,” jawab patih. “Itu tikus istana.”

“Sebesar itu?”

“Itulah yang membuat hamba terpingkal-pingkal, Paduka,” kata patih. “Juru masak istana sangat teledor. Ia tidak menyimpan makanan dengan baik. Maka, tiap malam tikus-tikus itu mudah sekali mencuri makanan Paduka. Pantaslah kalau segemuk itu.”

“Juru masak itu harus dihukum mati, Paman,” kata raja. “Aku bijaksana sekali, ya?”

Juru masak istana diam-diam menemui patih ketika mendengar dirinya dijatuhi hukuman mati oleh raja. Di hadapan patih licik itu ia merengek minta tolong agar terhindar dari tiang gantungan.

“Saya berjanji, Paman Patih. Setiap hari akan saya buatkan hidangan yang enak-enak untuk Paman. Sama seperti makanan untuk raja,” kata juru masak.

 Patih kelihatan berpikir keras.

“Baiklah, Juru Masak. Serahkan urusan ini padaku. Tapi jangan sampai ketahuan siapa pun bahwa kau pernah menemuiku.”

“Baik, Paman Patih.”

Besok paginya raja siap menjalankan hukuman mati untuk si juru masak yang dianggapnya teledor. Tali gantungan sudah disiapkan oleh para prajurit. Sekarang mereka tinggal menunggu perintah dari raja.

Tepat ketika raja mengeluarkan perintah, patih muncul tergopoh-gopoh.

“Tunggu dulu, Paduka! Tunggu dulu!” katanya.

“Ada apa lagi, Paman Patih?”

“Juru masak ini jangan dihukum mati.”

“Kau melawan keputusanku, Paman?”

“Ampun, Paduka, hamba tidak berani.”

Dengan suara berbisik, patih kemudian menyampaikan sebuah rahasia kepada sang raja. “Tadi malam hamba mendengar para dewa bercakap-cakap,” katanya. “Mereka bilang sekarang ini hari baik. Siapa pun yang mati hari ini, ia akan langsung masuk surga. Jadi kalau juru masak dihukum mati hari ini, ia akan masuk surga, Paduka.”

“Kalau begitu juru masak tidak boleh dihukum mati hari ini,” kata raja.

“Begitulah, Paduka.”
“Aku bijaksana sekali, ya?”

“Begitulah, Paduka.”

Maka hari itu raja membatalkan hukuman mati terhadap juru masak. Pasukan yang sudah siap menghukum dibubarkan. Tapi tiba-tiba raja teringat sesuatu. Pasukan penghukum dipanggilnya lagi.

“Paman Patih,” katanya, “kaubilang yang mati hari ini akan masuk surga?”.

“Begitulah, Paduka,” jawab patih.

“Kalau begitu aku harus dihukum mati hari ini, biar masuk surga.”

Begitulah, raja segera memberi perintah kepada pasukan untuk melilitkan tali gantungan ke lehernya. Ia tampak bahagia dengan tali melilit di leher. Paras wajahnya berseri-seri.

“Paman Patih, hari ini aku akan masuk surga,” katanya. 

“Hamba senang sekali, Paduka,” jawab si patih.

“Eh…, tapi aku belum tahu jalan ke sana, Paman. Kau harus menunjukkan jalannya agar aku tidak sesat. Jadi kau harus mati lebih dulu, baru aku. Lalu kita akan jalan bersama menuju surga. Aku bijaksana sekali ya, Paman!”

Maka ia memerintahkan kepada pasukan penghukum agar patihnya digantung lebih dulu. Setelah itu baru ia menyusul. Pasukan menjalankan hukuman sesuai perintah raja. Hari itu seorang patih yang culas dan seorang raja yang bodoh menemui nasib yang sama. Mereka mati di tiang gantungan yang mereka sediakan sendiri. [*]

1 comments:

iqbal said...

Saya yakin pada akhirnya Raja Itu akan masuk surga.. :) semoga..

Post a Comment