RSS

Bagaimana Si Tua Menundukkan Pendekar Pedang

Dituturkan ulang oleh A.S. Laksana

SEORANG pendongeng tua berdiri mematung di depan sebuah dojo di kaki bukit. Di tempat itu, para calon samurai belajar di bawah asuhan seorang pendekar besar. Matahari sudah surut di langit barat dan si pendongeng telah berjalan seharian. Sekarang perutnya keroncongan dan tulang-tulangnya mulai ngilu dan ia memerlukan tempat istirahat. Lebih dari itu, ia memerlukan makanan.

Sesuai adat waktu itu, untuk mendapatkan makanan dan menumpang bermalam di dojo seseorang harus berduel  terlebih dulu melawan salah seorang murid, dengan senjata pedang kayu. Pria ini merasa bahwa tulang-tulang tuanya, juga otot-ototnya yang sudah melemah, tak mungkin bisa digunakan untuk bertarung. Setelah merenung beberapa saat ia akhirnya berjalan ke pintu dojo dan mengetuknya.

Seorang pendekar muda menyambutnya. “Kakek, apa yang bisa saya bantu?"

Orang tua itu berkata tenang, “Aku datang kemari untuk menantang guru kalian.”

Pemuda itu tertawa dan berkata, "Kakek, kenapa tidak menantang salah satu murid tahun pertama kami?"

"Tidak, aku datang kemari untuk bertarung dengan guru kalian.”

"Bagaimana kalau dengan murid tahun kedua?”

"Aku hanya bertarung dengan pendekar besar.”

Orang tua itu kemudian dibawa masuk ke ruang latihan dan semua murid di sana memandang heran pada pendongeng tua yang tampak lemah ini. Betulkah ia akan bertarung dengan guru mereka? Semua orang tahu, menantang duel seorang pendekar besar berarti harus siap mati. Pertarungan akan dilangsungkan dengan pedang sungguhan, bukan pedang kayu, dan tak akan berhenti sebelum salah satu menemui ajal.

Sang guru menerima tantangan. Ia masuk ke tempat latihan dan membungkuk hormat di hadapan tamunya. Di pinggangnya terselip sebilah pedang panjang. Ia lalu memberi isyarat kepada salah satu muridnya untuk mengambil pedang dan menyerahkannya kepada si penantang. Pendongeng tua itu menerima pedang dan meletakkannya di lantai dan sama sekali tidak melihatnya lagi.

“Saya menerima tantangan anda. Silakan Tuan mengambil pedang dan kita mulai,” kata si Samurai.

Pelahan-lahan, dengan gerak yang sangat khusyuk, pendekar besar itu menghunus pedangnya dan siap menyerang. Orang tua di depannya akhirnya bersuara:

“Bertahun-tahun lalu, ada sebuah desa kecil di tepi sungai yang indah di kaki gunung. Airnya gemericik menenteramkan hati. Di pinggir desa itu ada pondok yang dihuni oleh seorang lelaki tua. Setiap hari ia turun ke sungai dan mendengarkan seekor ikan bercerita kepadanya tentang tempat-tempat yang telah ia kunjungi, orang-orang yang telah ia temui, dan kisah-kisah yang telah ia dengar sepanjang perjalanan. Kemudian lelaki tua itu akan pergi ke desa menemui teman-teman baiknya dan kepada mereka ia akan menceritakan kisah-kisah baru sambil menikmati teh di pagi hari….”

Saat pendongeng tua itu bicara, si pendekar menurunkan pedangnya dan membungkukkan badan. “Anda telah mengalahkan saya, Tuan,” katanya. Murid-muridnya tidak terima. Salah seorang berkata: “Bagaimana mungkin ia menang? Ia tidak mengayunkan tangan. Ia bahkan tidak melakukan apa-apa.”

Si Samurai memutar tubuhnya dan memandangi mereka dan tersenyum. “Sudah sering kusampaikan kepada kalian bahwa untuk memenangi pertempuran kita harus memusatkan perhatian pada situasi kita sekarang, jangan pernah membiarkan pikiran kita mengembara. Dan sekarang ia telah menyeretku ke tempat dan waktu yang sangat jauh. Ia bisa memenggalku kalau ia mau.”

Maka, itulah yang terjadi pada siapa pun yang menyampaikan cerita dari hati, dan pada siapa pun yang mendengarkannya, juga dengan hati. [*]

0 comments:

Post a Comment