RSS

Gulliver di Negeri Liliput

II. Diangkut ke Mildendo, Ibukota Liliput

Lima ratus tukang kayu dan insinyur bangunan dikerahkan membuat kereta raksasa untuk mengangkutku ke ibukota. Bisa kaubayangkan repotnya membuat kereta kayu untuk mengangkut dua ekor gajah? Nah, bagi orang-orang Liliput, membuat kereta untuk mengangkutku jauh lebih sulit. Tubuhku jauh lebih besar dibandingkan dua gajah mereka. Namun tukang kayu dan insinyur bangunan mereka rupanya orang-orang yang tangkas bekerja. Sebelum aku terlelap, mereka sudah hampir menyelesaikan pekerjaan mereka, sebuah kereta raksasa di negeri Liliput. Panjangnya sekitar dua meter, lebarnya satu meter, rodanya dua puluh dua.

Sembilan ratus orang yang paling kuat di antara mereka mengangkatku ke kereta dengan tali saat aku tertidur lelap. Seribu lima ratus kuda perkasa, masing-masing setinggi sepuluh senti, dikerahkan untuk menarik kereta ke Mildendo.

Aku terbangun ketika kereta bergerak. Ada dua orang sangat ingin melihatku dari dekat saat aku tidur. Mereka memanjat naik ke kereta dan salah satu dari mereka iseng memasukkan ujung tombak untuk menggelitik lubang hidungku. Rasa geli di lubang hidung membuatku bersin keras sekali dan aku terbangun. Dua orang nakal tersebut cepat-cepat turun. Langkah mereka terlihat bangga. Mereka merasa sangat berani dan berhasil.

Perjalanan ke Mildendo makan waktu dua hari. Pada malam hari, ketika kami istirahat, lima ratus prajurit jaga bersiaga di kiri kananku dengan senjata siap ditembakkan jika sewaktu-waktu aku melarikan diri. Namun aku merasa tak ada gunanya memberontak lari. Aku tetap terbaring tenang sampai ke Mildendo.

Berita kedatanganku cepat menyebar dan orang-orang dari seluruh penjuru kota berdatangan untuk melihat “Manusia Gunung”—begitulah mereka menyebutku. Raja menyiapkan untukku sebuah rumah. Itu salah satu bangunan terbesar di kota Mildendo—sebuah kuil tua yang hanya bisa kumasuki dengan cara merangkak. Dinding-dindingnya sangat tebal dan kuat. Mereka mengikatku di kuil ini dengan sembilan puluh rantai yang dibelitkan di jendela kuil. Kemudian ikatan kakiku dikunci dengan tiga puluh gembok. Mereka yakin aku tak mungkin menjebol belenggu di kakiku. Ketika aku bangkit pelan-pelan, mereka lari berteriak-teriak.

Aku berdiri mengamati sekelilingku. Pemandangan yang kulihat indah sekali. Negeri ini seperti sebuah taman, dengan padang rumput mengelilingi ladang gandum dan kebun-kebun sayuran. Jalan-jalan raya tak lebih besar dari jalan setapak yang membelah taman dan pohon tertinggi di negeri ini tak sampai dua meter. Di kakiku terbentang kota Mildendo, seperti sebuah panorama di panggung boneka. Ribuan orang dewasa dan anak-anak kecil mengerumuniku. Tinggi mereka rata-rata tak sampai lima belas senti. Binatang-binatang lebih pendek lagi. Kuda dan lembu tingginya hanya sepuluh senti. Kambing tak sampai tiga senti. Ayam dan angsa tampak seperti lalat yang berwarna-warni.

Raja dan keluarganya melihatku dari menara sebelah. Kemudian ia turun dari menara untuk mendekatiku. Mula-mula ia naik kuda, namun kuda yang ditungganginya ketakutan dan sang raja nyaris terlempar dari punggung binatang tersebut. Akhirnya ia turun dari kuda dan berjalan ke arahku. Ia berhenti agak jauh dariku dan memandangiku dari bawah ke atas dan ke bawah lagi. Aku juga tertarik kepadanya sebagaimana ia tertarik kepadaku. Lalu aku merunduk dan bertiarap agar bisa melihatnya lebih jelas. Raja lebih tinggi beberapa senti dibandingkan rata-rata rakyatnya. Mukanya tampak keras dan jantan. Kulitnya bersih. Setiap gerakannya berwibawa.

 Pakaian kebesarannya tidak luar biasa, namun mahkota di kepalanya terbuat dari emas dengan hiasan berlian dan bulu-bulu. Ia menggenggam pedang sepanjang kira-kira tujuh senti dan pedang itu dihiasi dengan emas dan permata.

Raja berbicara kepadaku beberapa kali dan aku menjawab omongannya. Sebetulnya aku bicara asal saja karena kami tidak saling mengerti bahasa masing-masing. Beberapa menteri dan ahli hukum kemudian mencoba berbicara kepadaku. Aku menjawab mereka dalam berbabagai bahasa yang kukuasai, namun mereka tetap tidak tahu yang kukatakan. Aku juga tidak tahu apa yang mereka katakan.

Setelah beberapa jam raja dan para pengikutnya kembali ke istana, meninggalkan aku di bawah penjagaan ketat para pengawal. Beberapa orang di tengah kerumunan melakukan tindakan iseng menembakkan panah mereka kepadaku. Komandan prajurit yang menjagaku menangkap enam orang yang dianggap sebagai pemimpin mereka. Sebagai hukuman, ia mengikat keenam orang itu dan menyerahkannya kepadaku.

Aku mengangkat keenam tawanan tersebut. Lima orang kumasukkan ke saku jasku dan seorang lagi kuangkat tinggi-tinggi di depan mukaku. Kepadanya kutunjukkan mimik muka yang menyeramkan seolah-olah aku akan menelannya hidup-hidup. Ia berteriak ketakutan, demikian juga para prajurit jaga.

Selanjutnya: III  Bagaimana Aku Menjalin Persahabatan dengan Orang Liliput