RSS

Ibu yang Jenaka


A.S. Laksana

NINUK, gadis kecil delapan tahun, sedang memberi makan Gombloh, kucing piaraannya. Ia senang mengamati cara kucing itu makan dan minum dan pernah juga ia mencoba makan dan minum dengan cara seperti itu, menjulur-julurkan lidahnya. Ternyata sulit sekali. Tapi Gombloh bisa melakukan apa yang ia tidak bisa.

“Ninuk, tolong bantu ibu mengatur meja makan, ya,” kata Ibu.

“Baik, Bu!” jawab Ninuk.

Hari itu Mbak Doris, pembantu mereka, minta izin menengok kakaknya yang sedang sakit. Jadi Ibu sendirilah yang harus menangani semua pekerjaan yang biasanya ditangani oleh Mbak Doris. Ibu merapikan taplak meja makan dan kemudian ke dapur. Ninuk menata piring-piring makan dan gelas. Ketika ibu sedang mengangkat sayur dari kompor, tiba-tiba ia mendengar bunyi “Krompyaaang!” 

Tanpa sengaja Ninuk menjatuhkan gelas bagus ke lantai. Itu gelas Ayah. Ibu bergegas ke meja makan dan ia melihat Ninuk berlari ke teras rumah sambil menangis. Ibu mengikutinya ke teras.

“Kenapa, Ninuk?” tanya ibu.

“Saya tidak sengaja, Bu,” katanya sambil tersedu-sedu.

“Lalu kenapa menangis?”

“Saya salah, Bu. Saya minta maaf.”

Ibu terdiam beberapa saat. Ninuk menunduk.

“Sekarang dengar Ibu,” kata Ibu setelah beberapa saat terdiam. “Kautahu, Nak, setiap orang bisa melakukan kesalahan. Dan memecahkan satu gelas bukanlah persoalan besar. Menurutku baru akan jadi masalah besar jika kau memecahkan semua gelas di rumah ini. Atau memecahkan semua peralatan makan kita.”

Ninuk masih terisak-isak.

“Tahu maksud Ibu?” tanya Ibu lagi. “Kalau semua piring kita pecah, berarti kita harus menampung makanan dengan tangan kita. Berarti kita harus menunggu sampai nasi dan sayur dan lauk menjadi dingin. Kalau semua gelas kita pecah, berarti kita akan minum tanpa gelas seperti cara Gombloh minum. Karena itulah kita harus hati-hati agar tidak memecahkan semua piring dan gelas.”

Ninuk membayangkan ibu, ayah, ia sendiri, dan Mbak Doris minum seperti cara Gombloh minum. Pasti setiap hari mereka tampak seperti sedang mengikuti lomba tujuhbelasan. Yang habis dulu menang. Lucu sekali, tetapi repot. Tiba-tiba ia bisa tersenyum. Ia mengangkat muka dan memandangi ibunya. Ibu memang baik dan lucu sekali. Ibu tidak marah karena gelasnya pecah tapi malahan membuat Ninuk bisa tersenyum. Lalu mereka berdua membersihkan pecahan-pecahan gelas di lantai. Lalu ibu meneruskan pekerjaannya di dapur dan Ninuk meneruskan menata meja makan. Kali ini ia lebih berhati-hati.



4 comments:

Ram Bascomb said...

Saya suka cerita ini tetapi saya tidak bisa membayangkan bila diri saya sebagai Ibunya Ninuk. Saya pikir mungkin saja penulis-nya sedang menyesali perbuatannya setelah memarahi anaknya atau siapalah karena memecahkan piring atau gelas. Terima kasih telah membagi cerita.

A.S. Laksana said...

Hahaha... si penulis kalau merasa bahwa anaknya perlu dimarahi, ia akan bilang begini, "Sebenarnya saya berhak untuk memarahimu, Nak..., karena kau bla-bla-bla.... Tapi, kautahu, marah bukan cara terbaik untuk memberi tahu bahwa...."

Unknown said...

Ah, manis sekali ceritanya. Kadang-kadang Ibu suka marah-marah ke anaknya kalo ngga sengaja mecahin piring. Bisa buat pembelajaran saya nih kalau jadi ibu kelak :)) Hehehe.

Unknown said...

pak deeeeeeeee

Post a Comment